Yaqawiyyu; Harmonisasi Tradisi Dan Wisata Religi

14 komentar
Berbicara tentang tradisi Jawa yang sampai saat ini masih terus lestari, ingatan saya langsung terkenang pada sebuah cerita bapak yang sering diulangnya berkali-kali waktu saya kecil. Cerita tentang perjalanannya bersepeda onthel bersama salah satu kakek (almarhum) menuju Jatinom Klaten, demi melakukan sholat Jum'at di sana, dan menyaksikan tradisi Yaqawiyyu


Jatinom merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Klaten, Jawa tengah dan terletak berada pada jalur utama yang menghubungkan antara Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. Sejarah mencatat, ratusan tahun lalu, di wilayah tersebut hiduplah seorang penyebar Islam bernama Wasibagno Timur, yang konon merupakan cucu dari Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit, yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Gribig.

Hingga pada suatu waktu, diceritakan Kyai Ageng Gribig melakukan perjalanan haji ke Mekah dan pulang dengan membawa tiga buah kue sebagai oleh-oleh. Karena jumlah kue yang dibawa tidak sebanding dengan jumlah para santri, kemudian beliau meminta sang istri, Nyi Ageng Gribig, untuk mencampurkan tiga kue yang dibawanya kedalam kue buatan sendiri, yang merupakan campuran tepung beras, gula dan kelapa dan kemudian kita kenal sebagai kue apem. 

Konon, apem berasal dari pelafalan Affan dalam bahasa arab, yang berarti ampunan. Karena banyaknya jumlah santri, seusai sholat Jum'at, Ki Ageng Gribig memutuskan untuk menyebarkan apem di depan Masjid Besar. Sejarah menyebutkan peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Safar 1511 H. Sebuah pesan telah ia ajarkan; bahwa dalam hidup ini manusia hendaklah menyisihkan sebagian rezeki untuk bersedekah. 

Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap jasa Ki Ageng Gribig, semenjak tahun 1974, pemerintah dengan dukungan masyarakat setempat secara rutin menggelar upacara adat Yaqawiyyu setiap tahun, dengan mengarak gunungan apem dan membagikannya kepada pengunjung.

Foto dari instagram24.com

Masyakat mengenal ritual ini sebagai Saparan Yaqawiyyu, karena selalu diadakan di bulan ke dua penanggalan Jawa yaitu Sapar, pada hari Jum'at, antara tanggal 12 dan 20. Sementara nama Yaqawiyyu sendiri diambil dari potongan doa yang diucapkan Ki Ageng Gribig sebelum menyebarkan kue apem, yang berarti Tuhan berilah kami kekuatan.

Kalau dulunya Nyi Ageng Gribig yang membuat apem, kini masyarakat lah yang "menyumbang" apem untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa beliau. Setiap tahunnya, tak kurang dari 5 ton kue apem yang didatangkan dari wilayah Klaten, Jogja, Magelang dan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan upacara adat ini. Satu hari sebelum puncak acara dilangsungkan, apem telah disusun kedalam dua gunungan; Ki Kiyat untuk gunungan lanang (laki-laki) dan Nyi Kiyat untuk gunungan wadon (perempuan). Sejatinya, yang membedakan antar keduanya adalah bentuk. Gunungan lanang lebih tinggi, sementara gunungan lanang lebih pendek dan lebih bulat.


Foto dari tradisionalseni.blogspot.com



Gunungan berisi berbagai hasil bumi seperti kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitar yang hidup dari sektor pertanian. Sementara ratusan apem ditata di puncak gunungan, menyerupai kubah masjid. Gunungan kemudian diarak dari KecamatanJatinom menuju masid Agung Jatinom, setelah sebelumnya disemayamkan terlebih dahulu di Masjid Alit. 

Kemeriahan jelas tergambar dalam event tahunan ini. Arak-arakan sendiri diikuti pejabat dan staf pemerintah daerah, marching band, dan tak ketinggalan pula Mbak dan Mas Klaten yang terpilih. Setelah kedua gunungan sampai di Masjid Agung, Ki Kiyat dan Nyi Kiyat kemudian di malamkan di dalam masjid untuk diberi doa-doa. Baru Jum'at siang, selepas sholat Jum'at barulah kedua gunungan beserta ribuan apem lainnya di sebarkan oleh panitia dari panggung permanen di selatan masjid, yang berada satu kompleks dengan pemakaman Ki Ageng Gribig.

Foto dari solopos.com 

Ribuan mayarakat menyatu dalam tradisi ini. Awalnya, Saparan Yaqawiyyu merupakan bentuk penghargaan masyarakat Jatinom dan sekitarnya terhadap sosok Ki Ageng Gribig dan juga sebagai ajang silaturahmi, bertemu dan berkumpul kembali. Sementara bagi banyak masyarakat yang lain, event ini bisa jadi mereka gunakan sebagai ajang ngalap berkah, menangkap peluang bisnis dan usaha, ataupun sebagai bentuk wisata religi semata. 

Disadari atau tidak, memang ada aroma sinkretisme Hindu-Jawa-Islam di dalamnya. Di sisi yang lain, ada banyak potensi wisata dan ekonomi mengikutinya. Sudah sewajarnya, potensi-potensi yang tercipta ini kita harmonisasikan dalam sebuah tradisi agung yang kehadirannya selalu di tunggu dan dinantikan masyarakat. 

sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Yaqowiyu 
http://www.dansapar.com/2012/01/21/yaqowiyu-perayaan-sebar-apem-di-bulan-sapar/ 
http://www.kompasiana.com/wurie-hadi/sinkretisme-islam-pada-upacara-ritual-saparan-yaqowiyu-di-klaten 



Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, suka travelling, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

14 komentar

  1. kebayang sing motret event itu. kejepit-jepit, kepidak-pidak. wadaw... good luck ya lis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Direwangi manjat pohon....kayaknya ada juga iki mbak.... He...he, maturnuwun

      Hapus
  2. Jadi ingin membaca lebih lanjut tentang Ki Ageng Gribig.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh pak. Nanti hasil belajarnya njenengan....rewrite di blog nggih Pak Kyai...

      Hapus
  3. Seru ya mbak tradisi ini, saya salut dengan tradisi masyarakat Jawa Tengah, semoga menang dengan kontesnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maturnuwun mbak yuni... Sukses juga untuk mbak yang (lebih) rajin nulis dan ikut berbagai lomba...

      Hapus
  4. Itu kue apemnya dibagiin atau diambil rebutan mbak? Kebayang deh ramenya kayak apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang tertata dlm gunungan, diperebutkan mb. Sementara dari menara...panitia juga membagi apem-apem dengan cara dilemparkan ke kerumunan. Yang dibawah...menangkap, atau banyak yang membawa jaring....demi mendapatkan apem.

      Hapus
  5. saya juga mikirnya sama, rame2 gitu kalo saya udah kejepit trus pingsan kali ya. pernah saat itikaf di bandung antri wudhu antriannya mirip foto di atas gitu dan sempat pingsan beberapa menit :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak... Resiko diantara kerumunan. Terhimpit, sampai akhirnya susah bergerak dan bernafas... Tapi bagaimana lagi.... Lautan manusia, menunjukkan partisipasi masyarakat yang begitu tinggi untuk terlibat dalam event ini

      Hapus
  6. Seru tu tapi kebayang deh kalau ada ditengah2 kerumunan begitu pasti seseknya minta ampun, di bogor juga suka ada yg mirip kaya gitu tapi ga tau apa namanya :) dulu pernah liat dari jauh doang soalnya ga bisa masuk udah penuh sama orang

    BalasHapus
  7. meriah banget acaranya. Terbayang ramenya :)

    BalasHapus
  8. Adat jawa kaya akan tradisi..mengenai satu ini saya baru tahu. Nice information :)

    BalasHapus
  9. Menarik banget, jadi pengin lihat tradisi tahunan ini

    BalasHapus

Posting Komentar