Pelajaran Dari Perjalanan Seorang Kakek

Foto dari alamatika

"Blonjo Nok..." sapa seorang kakek pada saya, saat hendak mengambil motor seusai membeli sayuran pada sebuah pasar tradisional pagi tadi. Kakek tua yang tak saya kenal siapa namanya, dan dari mana ia berasal. Tidak tahu sudah berapa lama ia terduduk di bawah pohon itu. Satu tangannya membawa payung yang sudah dilipat. Hujan deras memang belum begitu lama reda. Satu tangannya lagi membawa kresek hitam --yang belakangan saya tahu isinya bekal nasi dan minuman. 

"Nggih mbah, badhe tindak pundi ?" jawab saya sembari mengencangkan gendongan Alya. "Pengajian no Ngebong " Kata kakek itu sambil menyebutkan sebuah nama kampung yang terletak sekitar 1 kilometer lagi dari pasar tempat dimana saya berbelanja. Di kampung tersebut, memang ada sebuah masjid tua yang setiap hari Selasa pagi digunakan sebagai tempat pengajian.

"Oo..nggih, ngatos-atos nggih mbah," pamit saya kepada kakek tua tadi, lantas menghidupkan mesin motor, dan pulang. Dalam pikiran saya, mungkin saja si kakek sedang menunggu anak atau keluarganya yang juga sedang berbelanja, untuk kemudian mereka akan ke masjid bersama-sama. 

Sengaja saya jalankan motor dengan pelan, saya lirik kaca spion...oh, ternyata kakek tadi juga sudah beranjak dari tempat duduk, dan kembali melanjutkan perjalanan. Dugaan saya salah. Ternyata ia hanya berjalan kaki. Dengan usianya yang mungkin sudah lebih dari 80 tahun, punggung yang sudah bungkuk, dan jarak yang masih harus ditempuh sekitar 1 km lagi...dan itu demi satu tujuan mulia PENGAJIAN, mengumpulkan bekal seandainya suatu hari kakek tua itu harus menghadap-Nya **rasa bagai di ketok kepala kuat-kuat. Undangan pengajian yang hanya jarak berapa meter saja, sudah berkali-kali terabaikan, hanya karena alasan klise; hujan, ngantuk, atau malas tepatnya. 

Bimbang. Balik-tidak-balik-tidak... Ah, akhirnya saya memutuskan untuk membalikkan motor yang sudah berjalan beberapa ratus meter. Saya teringat bapak, yang juga sudah tua. Kasian sekali seandainya apa yang terjadi pada kakek tadi menimpa orang tua saya... 

"Mbah, monggo mbonceng ...kulo dugekke Masjid Ngebong" Meski dengan susah payah, akhirnya kakek tadi berhasil duduk di jok belakang motor. Saya tarik gas pelan, takut kakeknya jatuh. Meskipun sudah sangat tua, tapi kakek tadi lumayan masih nyambung saat saya ajak ngobrol. Rupanya kakek tadi berasal dari desa yang berjarak sekitar 4 atau 5 kilometer dari tempat saya tadi bertemu beliau. Tak ada anak yang mengantar, karena semuanya tinggal berjauhan. Saat ada uang, biasanya naik ojek untuk selalu hadir ke pengajian, tapi (mungkin) hari ini kakek nggak ada rejeki, memutuskan jalan kaki, berangkat dari rumahnya jam 6 pagi; padahal pengajian mulai jam 10 ** lhah saya? undangan jam 8, ya jam 8 baru berangkat.

Alhamdulillah, sampai juga saya, Alya dan kakek di masjid tujuan. Masih sepi, belum juga pukul 9 pagi. Turun dari motor, tak henti-hentinya kakek tadi mengucap terimakasih, mendoakan semoga anak-anak saya tumbuh menjadi anak pintar, dan rejeki saya lancar. Sepertinya saya yang lebih harus berterimakasih kepada kakek itu, karena pertemuan saya dengannya pagi tadi, sesungguhnya mengajarkan banyak hal.
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts