Sebuah Pilihan

1 komentar
Minggu pertama setelah ibu masuk kerja, raka ma ibu tidur di rumah simbah di Bantul. Sementara ayah jagain rumah di Sleman sambil nunggin proses renovasi eternit kamar tamu yang rusak. Meski dua puluh lima tahun ibu hidup di rumah simbah...tapi kalau statusnya sudah berumah tangga...kok beda ya rasanya. Kalau jaman dulu sih cuek2 aja bangun siang. Tapi klo sekarang, ngerasa aneh aja klo ibu tetap tidur, sementara orang tua selalu bangun dan langsung ke masjid saat adzan subuh berkumandang. Capek juga karena ibu harus ngrasain jadi single parent. Sebelum dan sepulang kerja, ibu harus ngurus Raka. Meski simbah selalu siap sedia membantu, tapi kan rikuh juga. Jadi tahu......betapa beratnya pasangan suami-istri-anak yang terpisahkan jarak. Letih fisik, letih batin. Langkah ini adalah solusi sementara. Minggu berikutnya, kala sekolah Raka masuk, raka kami titipkan di Annur, tiap hari, 6x dalam seminggu, full day school, rata2 di jemput pukul 14:30. Saat alternative ini kami ambil, ayah mengeluh...”pekerjaan kantorku keteteran karena harus jemput Raka tiap hari”. Jalan keluar selanjutnya... akhir bulan ini ibu harus resign dari kantor. Demi Raka. Demi kebaikan keluarga kami.

“sayang Lis...cari pekerjaan kan susah. Hampir lima tahun kamu disini, bahkan sejak kantor ini baru dirintis. Kamu sudah karyawan tetap, kenapa di lepas”. Puluhan kali ibu mendengar komentar itu. Dari tetangga. Sesama rekan kantor, bahkan dari keluarga sendiri.

“iya, tapi kalo saya bekerja sepanjang hari....siapa yang jaga Raka?” Kalau saya dan Raka tetap di Bantul, sementara suami di Sleman, apa gunanya saya menikah dan puya keluarga sendiri? itulah jawaban saya.

“Cari pembantu baru donk...gampang kan?”
Mencari pembantu sebenarnya mungkin pekerjaan mudah. Cari di agen toh bisa. Tapi mencari yang bisa dipercaya, yang bisa mengasuh serta mendidik anak, mau dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan Raka, dan mau dengan sabar menyuapi Raka...itu tidak mudah. Gak bisa membayangkan juga klo akhirnya raka lebih dekat dengan pembantu , drpd ibunya.

“Lalu kamu siap dengan rutinitas baru kamu di rumah, karena selama ini kamu terbiasa dengan mobilitas yang tingggi?”
“Saya harus siap. Saya mau meninggalan pekerjaan saya saat ini,bukan berarti saya gak mau bekerja. Saya pun berharap, suatu hari nanti saya mendapatkan pekerjaan yang tidak menuntut saya meninggalkan rumah seharian, pekerjaan dengan jam kerja yang teratur”

“soal finansial keluarga?”
Bukankan dalam Islam perempuan statusnya hanya “membantu” ekonomi keluarga? Suamiku...dengan pekerjaannya saat ini, aku rasa bisa kami andalkan. Kata “cukup” akan sangat relatif, tergantung yang menjalani. Kalau terus menerus mengikuti keinginan, kapan manusia bisa merasa cukup? Mungkin saat ini tenaga dan pikiranku lebih dibutuhkan untuk urusan domestik. Itulah hikmah yang bisa aku ambil. Kalau aku bersikukuh dengan karierku saat ini, tanpa mempedulikan nasib anak kami...bukankah itu Egois?
Entahlah, ada berapa orang yang akan menilaiku bodoh dengan keputusanku (kesepakatan aku serta suamiku tepatnya). Tapi yang jelas, semuanya demi Raka anak kami. Kami menghargai masa emas yang kini tengah dilaluinya. Di masa itulah, kami ingin memberikan fondasi yang baik serta kokoh yang akan menentukan masa depannya kelak. Satu yang pasti, ibu lebih bangga memiliki anak yang bisa dibanggakan, daripada pekerjaan ibu saat ini.
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, suka travelling, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

1 komentar

  1. Serba salah juga ya buk ya?kadang kita juga harus memilih yang terbaik buat kita dan keluarga.
    Semoga pilihan nanti adalah yang terbaik buat semuanya,kita cuma bisa mendoakan....

    BalasHapus

Posting Komentar