Nggak Ada yang Rugi dari Silaturahmi

10 komentar


Idul Fitri dan silaturahmi, dua hal yang nggak bisa dipisahkan. Oke lah, kemajuan alat telekomunikasi menjembatani jauhnya  jarak. Memang sudah bukan modelnya lagi berkirim kartu lebaran via pos yang mesti nunggu berhari-hari, yang kalo lagi apes,  itu aja kadang nggak nyampe. 

Di era digital ini, kalau niatnya mo ngirim kartu ucapan, sekarang mah gerakin jempol bentar aja urusan sudah kelar. Malah jarang ada drama katu lebarannya nyasar.

Meski begitu, silaturahmi secara langsung, bertatap muka, sepertinya masih jadi idola. Secanggih-canggihnya teknologi komunikasi, tradisi mudik ke kampung halaman, tetap jadi idaman.

Asli Jogja dan punya suami yang juga made in Jogja, dan kerja di Jogja pula menjadikan saya miskin pengalaman melakukan ritual mudik. Kalau pengen pulang dan ketemu orang tua, saudara, maupun tetangga, naik motor/mobil maksimal 1,5 jam saja juga sudah nyampe kampung halaman. Makanya, selama ini cuma jadi penonton report live arus mudik aja udah seneng, berasa larut dalam hingar bingar suasana mudik lebaran.

Memang kalo silaturahmi secara langsung itu memang lebih greget kok. Di tempat saya, biasanya tradisi ini di sebut UJUNG(dari kata berkunjung apa ya) dimulai selepas sholat Ied..trus nanti muter, dari satu rumah ke rumah lainnya. Umumnya, yang usianya lebih muda/secara silsilah keluarga lebih muda mendatangi yang lebih tua untuk bersilaturahmi, meminta doa restu, dan juga meminta maaf. Indah kan?! Soal durasi, tergantung kedekatan psikologis/hubungan kekerabatan.

Yang pasti, disinilah waktu untuk bertatap muka, saling bercerita,  saling mencicip kue-kue lebaran. Bahkan kalau di kampung nenek-moyang pak suami, tradisi ujung itu nggak cuma silaturahmi, menikmati snack, tapi juga makan besar. Jadi kalau pas lebaran, mungkin banget dalam sehari makan sampai 6x, bahkan bisa lebih (Astaga!). Yang masih kategori anak-anak, akan lebih happy lagi, karena saat berpamitan pulang, biasanya sang tuan rumah akan memberi 'salam tempel' sambil berpesen.."iki Le/nok...buat jajan es..".

Dikampung kelahiran saya, budaya tiap rumah yang didatangi  prosesi ujung dilengkapi makan besar plus salam tempel ini sangat jarang. Dalam satu kampung, ada beberapa yang menjalankan, tapi benar-benar bisa dihitung dengan jari. Makanya, dulu awal-awal pindah domisili ikut suami agak terkaget-kaget.

Lupakan angpao anak-anak. Yang paling menyenangkan saat tradisi silaturahmi atau ujung ini buat saya adalah, saat ketemu teman-teman lama di kampung halaman. Biasanya saat ini, domisili mereka sudah menyebar, entah karena tuntutan pekerjaan atau karena alasan keluarga.

Hal lain yang juga menyenangkan dan kadang mbikin trenyuh itu ngajakin ngobrol tuan rumah yang sudah sepuh. Asal tidak ada gangguan pendengaran sih, benernya saya seneng ngobrol sama mereka. Cukup dengan pancingan pertanyaan " Sehat mbah..?" atau "Sedang bertanam apa? Atau sibuk apa sekarang..?" biasanya mereka akan bercerita panjang.. yang kadang belakangnya malah curhat😀Ya, paling tidak obrolan ringan yang bisa ngobatin rasa sepi mereka di usia senja.

Ya..intinya, nggak ada yang rugi dari sebuah silaturahmi, karena hal positif yang bisa kita petik dari silaturahmi, adalah kita tengah belajar untuk  berbagi.

Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, suka travelling, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

10 komentar

  1. Tahun ini agak minim silaturahmi ke rumah saudara. Pas banget di rumah ibu juga mertua lagi banyak tamu dan acara. Tapi biasanya saya silaturahmi juga saat pulang kampung di luar lebaran. Dan memang benar, silaturahmi itu sangat menguntungkan. Btw, mohon maaf lahir batin ya Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mba...mohon maaf lahir batin juga yaa...

      Terimakasih sudah mampir..😊

      Hapus
  2. Sama mbak, kalau di solo biasanya ada sungkeman dengan keluarga besar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serupa ya mas. Maklum lah..jogja-solo tradisinya banyak yang sama...

      Trimakasih sudah mampir.

      Hapus
  3. Yen di sini namanya 'sejarah'. Menelusuri sejarah masing-masing jadinya.

    Tahun ini makin sepi yang di jogja lis. Soale aku dah balik pas pada ngumpul.

    Mung bisa liat di foto-foto WA.

    BalasHapus
  4. Iya, Mbak, silaturahmi memang sangat bermanfaat. Alhamdulillaah saya juga keliling ke saudara-saudara dan tetangga di Jombang. Mohon maaf lahir dan batin ya, Mbak...

    BalasHapus
  5. Lebaran memang waktu yang tepat untuk bersilaturahmi dengan teman dan sanak saudara, tidak hanya sekedar bertemu dan bermaafan tapi juga saling melepas rindu karena kesibukan masing masing.

    BalasHapus
  6. oooh di sana "ujung" ya?
    di Solo "mubeng"
    kalo di kotaku Lumajang "nglencer"
    hahahha

    BalasHapus
  7. Tradisi ujung-ujung di kelaurga saya juga masih berlangsung Mbak. Biasanya habis sholat Ied, Bulik saya dan anak cucunya berkunjung ke rumah saya karena ada Ibu sebagai kakak tertua. Rame banget pokoknya.

    Karena adik Ibu ada 3 orang, maka akan terjadi 3 kloter kunjungan, masing-masing Bulik membawa rombongan anak cucu. Praktis hari pertama Lebaran saya nggak bisa kemana-mana karena banyak tamu, dari pagi sampai sore.

    Yang paling seneng pasti Vani dan Ibu, karena dapat salam tempel dari saudara-saudara, hehe..

    BalasHapus
  8. Ebuset makan bisa sampe 6x, hahahah... Iya sih namanya ditawarin, apalagi kalau semacam keharusan kayak tahun2 sebelumnya, susah juga nolaknya. Kalau saya memang selalu lebaran di Jakarta sih, jadi ya sama... cuma sebagai penonton arus mudik aja di TV.

    BalasHapus

Posting Komentar