Topik lumayan basi sebenarnya...tapi, sekedar opini boleh lah..
Beberapa hari, saya memang tidak memantau medsos yang ramai pro-kontra tentang isu hangat yang dilempar pak Menteri Pendidikan terkait sekolah seharian alias full day. Pertama tahu tentang ini, juga gara-gara running text ditengah tayangan ipin-upin atau kalau nggak gitu Super Dede (tv dirumah banyak dibajak anak-anak). Dan begitu wacana itu dilempar publik..saya langsung mbatin..aduh ini apa lagi sih, masalah penerapan kurikulum saja masih mbingungi...ada yang make Kurtilas, ada yang KTSP..ini sudah mau ganti tema lagi...
Balik lagi ke masalah sekolah seharian. Sulung saya, kelas 4 SD, saat ini sekolahnya berkonsep semi full day. Masuk pukul 06.40 dan pulang pukul 13.35 (asumsinya anak tidak mengikuti ekstra pilihan/wajib). Saat mengikuti ekstra pilihan, maka ia pulang sekitar pukul 16.00. Dan menurut pengamatan, dalam satu wilayah kecamatan tempat dimana saya tinggal, sekolah yang berkonsep seperti itu jumlahnya sangat sedikit, beberapa SD swasta saja.
Kenapa kami memilihkan sekolah full day?
Sepakat dengan pak Menteri, karena seusai jam belajar...biar anak tidak melulu klayapan. Ada banyak kegiatan bermanfaat yang bisa ia lakukan di sekolah ( tadarus, madrasah diniyah, dan tak kurang dari 15 kegiatan ekstra yang bisa dipilih anak-anak).
Tapi yang mungkin dilupakan Pak Menteri saat menggagas ide ini, adalah kesiapan (banyak sekali) sekolah-sekolah yang bertahun-tahun beroperasi dengan sistem halfday. Siap nggak mereka kalau tiba- tiba harus "menahan" siswa-siswanya sampai sore? Sebuah SD negeri tak jauh dari saya tinggal hanya punya satu kegiatan ekstra yakni pramuka, tapi ya mosok anak-anak mau pramuka saban hari? Belum lagi ngurusi makan siang sebegitu banyak anak ( harus yang sehat lho!) Jadi menurut saya, sebelum lempar wacana, lihat dulu situasi di lapangan.
Dari sisi wanita pekerja, sistem sekolah seharian mungkin bisa menguntungkan. Nganter anak sekalian berangkat ngantor, nanti balik sekalian jemput, beres. Mau dibebani SPP yang selevel sama biaya kuliah, terjangkau. Mungkin akan beda lagi kalau perspektif ibu rumah tangga. Lha..saya ini di rumah mau ngopeni anak..kok malah anaknya mau menghabiskan sepanjang hari di sekolah. Dari segi pembiayaan pendidikan, sistem full day pastinya lebih mahal kan?
Bertahun silam, saat Raka masih batita..saya pernah ikutkan dia PAUD full day. Harapannya, saya bisa tetap kerja di luar. Apa yang terjadi? Raka yang picky eater...susah sekali makan siang. Durasi tidur siang juga tidak selama kalau tidur di rumah sendiri. Badannya mengurus, melas kalau orang Jawa bilang. Endingnya...saya mending resign, dan Raka pindah jam...jadi halfday. Pagi biar dia bersosialisasi dengan teman-teman seumurannya, siang...biar anak jadi tanggungan orangtuanya.
Soal isu fullday ini, sempat juga mewarnai obrolan grup WA saya dan teman-teman. Biasalah..pro kontro juga...tapi dalam format tetap ketawa-ketiwi. Dan saya masih ingat sentilan seorang teman "Anak...yen ra ono di anak-anakke...mbareng ono, mung arep dho dititipke".... (Anak itu..kalu nggak ada, bingung supaya ada. Setelah ada...cuma mau dititip-titipkan)
*ParagrafTerakhirPengingatUntuk Saya,AgarLebihBisaSabarDenganAnak-Anak)
