Minggu kemaren, sebenarnya ada dua hari di mana formasi kami lengkap. Sabtu dan Minggu pada di rumah semua. Raka libur karena gurunya pada ada acara. Eh, Alya nggak libur ding, tapi mogok, kekeh nggak mau berangkat gara-gara ngerti kakaknya libur.
Sabtu, ada rencana keluar, tapi mesti njagong nikahan tetangga, jadinya kepending. Berdasarkan niatan yang tertunda, minggu pagi kami niatkan dolan ke Breksi. Mosok yang jauh-jauh, luar kota, luar propinsi bahkan luar negeri berdatangan, penasaran dengan indah dan kokohnya Breksi, kami yang wong Sleman malah belum. Setelah dari Breksi, rencanaya nanti sekalian ke rumah ortu.
Dari rumah sebenarnya nggak ada masalah sama cuaca. Kayaknya mau cerah. Tapi sampe tengah jalan, mendung dan makin tebal, dan beneran, hujan deres turun saat posisi kami di ringroad. Mau balik ke rumah, tanggung. Mau langsung ke rumah ortu, kok masih pagi banget. Akhirnya tetep jalan pelan, siapa tahu hujan reda.
Beneran, nyampe darah pasar Prambanan hujan berhenti. Kami berhenti pula, nyari sarapan di pinggir jalan, dekat pasar Prambanan. Sengaja dibungkus, biar nanti bisa makan di lokasi.
Secara lokasi, posisi Tebing Breksi ini mudah banget dicari. Tinggal ikuti jalan Prambanan-Piyungan, setelah komplek Ratu Boko, akan ada petunjuk di kiri jalan. Searah sama Muhammadiyah Boarding School, nanti tinggal ikuti anak panah, ikuti jalan yang lumayan nanjak, pasti sampe.
![]() |
| Tebing Breksi, suatu pagi, saat gerimis |
Masih jam 6an pas nyampe Tebing Breksi. Bukan pengunjung pertama sih, tapi masih lumayan sepi.
"Hanya bayar parkir 5000, biaya masuk seikhlasnya.." Kata seorang penjaga sembari memberi kami selembar karcis parkir. Segera saya berikan 2 lembar uang kertas, satu buat parkir, satunya lagi buat biaya masuk.
"Makan di bawah atau di atas?"
Pak suami nanyain anak-anak, mau sarapan dimana. Pada kompakan njawab diatas, ya sudah kami langsung naik.
Berada di Dusun Groyokan, Sambirejo, Prambanan, tempat yang sekarang terkenal dengan Tebing Breksi ini dulunya adalah lokasi penambangan batu kapur. Sejumlah penelitian kemudian menyimpulkan bahwa batuan kapur breksi di tempat ini merupakan endapan abu vulkanik dari Gunung Api Purba Nglanggeran. Karena itu, kawasan pertambangan ini kemudian di tutup dan masuk dalam cagar budaya yang harus di lestarikan.
![]() |
| Awalnya ini adalah tambang bukit kapur |
Kreatifitaslah yang kemudian mampu menyulap hingga bukit bekas tambang ini seperti sekarang. Kealamian bukit, di percantik dengan beberapa pahatan, plus beberapa sarana tambahan yang mempermudah pengunjung untuk naik ke atas.
Balik lagi ke cerita kami pagi itu. Begitu sampe lokasi, kami putusin langsung naik ke atas. Ada puluhan anak tangga dari batu yang akan mengantar kami ke atas. Lumayan curam. Alya di gendong ayahnya, sementara tangan saya bawa bekal makanan, plus beberapa printilan, lupa apa saja.
Banyak sudut-sudut Instagramable benernya di tebing Breksi. Ini juga yang sering menjadikan Breksi sering digunakan sebagai lokasi foto pre wedding. Tapi waktu itu saya mikirnya, ambil foto-fotonya ntar aja. Ambil gambar dengan satu tangan sambil menaiki tangga, sepertinya bakalan repot. Tetep, hape saya taruh backpack. Sampe atas, ketemu beberapa pengunjung yang datangnya lebih pagi. Ada yang lagi pepotoan, ada pula yang lagi sibuk sama bekal makanan.
Di atas, demi keamanan pengunjung, terpasang tali pengaman/pembatas area. Ada beberapa pohon peneduh, beberapa kursi dan beberapa spot foto. Banyak juga pohon-pohon langka yang mulai tumbuh. Dari papan nama yang terpasang, rata-rata adalah tanaman kenang-kenangan institusi atau tamu kehormatan/tokoh masyarakat. Kalau sekarang, bukit kapur ini masih cukup gersang, tapi beberapa tahun ke depan, pasti akan lebih hijau dan teduh.
![]() |
| Dari atas terlihat Tlatar Seneng, area luas yang juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan/pementasan seni |
Mendung menggantung, dan saya masih punya tanggungan yang belum tertunaikan. Nyuapin Alya. Segera kami buka makanan yang tadi kami beli di jalan. Agenda pertama, anak-anak sarapan dulu. Nanti, setelah beres nyuapin, saya baru mo liat suasana. Keliling-keliling sambil cari gambar.
Kelar sarapan, ternyata drama pertama dimulai. Alya mbingungi cari playground yang ada ayunan. Lhah! Yang sering ngajak balita jalan, ya pasti paham, nggak semua jenis wisata bisa menjadi tempat nyaman buat balita.
Ditengah Alya merajuk minta pulang gara-gara ga nemu ayunan, grimis mulai turun. Ga bawa payung pula. Mungkin klo sendirian, ga masalah hujan-hujanan bentar. Tapi masalahnya, ada dua anak yang batuk-pileknya aja belum sembuh bener. Ya, mending ngalah sama hujan.
Meski baru beberapa saat kami datang, endingnya kami memutuskan cabut dari Bukit Breksi. Gerimis makin menjadi. Hujan deras, mo ngapain lagi? Ya sudah, kami memutuskan untuk turun, dan menuju parkiran. Hikmah pagi.. eits kayak acara siraman rohani yang bisa saya ambil:
- Sedia payung sebelum hujan. Itu nasehat yang nggak cuma sebatas pepatah. Dalam kasus ini, saya males aja bawa karena udah banyak bawaan di tangan. Giliran hujan beneran, kacau deh. Kasian kan anak-anak yang barusan kena flu.
- Jangan males ambil foto. Niatnya kemaren, kelarin kewajiban mbok-mboknya dulu, nyuapin dulu, akhirnya malah ga dapat poto cakep secuilpun. Ini foto yang ada, juga jepretan seadanya menjelang pulang.
- Memilih wisata minat khusus dengan ngajak balita itu untung-untungan. Lha contohnya, lagi di perbukitan kapur, Alya malah mbingungi minta ayunan. Salahnya adalah saya nggak ngasih briefing dulu ke Alya, tempat seperti apa yang mau dikunjungi. Besok-besok lagi, ga boleh diulangi.




