Sepintas, tak ada ciri khusus yang membedakan Desa Kasuran, Margodadi dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Sayegan Sleman Yogyakarta. Sebuah kepercayaan yang hingga kini masih mengakar kuat dalam masyarakat lah yang membuat desa ini menjadi beda dengan yang lain, terlebih di jaman dimana kenyamanan hidup kerap menjadi tujuan dan tuntutan.
Perjalanan Sunan Kalijaga; Sebuah titik awal
Dikisahkan, dalam suatu perjalanan dakwahnya, suatu hari Sunan Kalijaga singgah di salah satu kampung di Desa Margodadi, Sayegan untuk sholat dan beristirahat. Sayang, tak ada sumber air yang beliau temukan untuk berwudhu, hingga kemudian Sunan Kalijaga mengetukkan tongkat dan keluar satu sumber mata air yang besar, yang sampai saat ini di kenal dengan Tuk Si Bedug.
Setelah sholat, beliau berpesan kepada sesepuh desa agar menyuruh penduduknya untuk tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur. ’’Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” begitulah ucapan Sunan Kalijaga yang terus mengakar, dari generasi ke generasi.
Cerita turun temurun yang telah berumur ratusan tahun itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Kasuran sebagai masyarakat yang pantang tidur di atas kasur. Kasur dalam hal ini diartikan sebagai alas tidur yang terbuat dari kapuk randu. Keberadaan kasur dalam sebuah rumah mereka anggap sebagai sumber celaka atau malapetaka.
Maka, bukan hal aneh ketika menjumpai penduduk yang tidur hanya beralaskan tikar ataupun alas tidur seadanya. Bahkan seandainya ada anggota masyarakat yang sengaja melanggar dan kemudian mendapatkan sakit atau bencana, mereka anggap itu sebagai karma.
Sumber foto: www.tribunnews.com
Mampukah modernisasi mengubahnya?
Perubahan sosial, turut mempengaruhi pula pola pikir masyarakat termasuk penduduk Desa Kasuran. Sampai saat ini, setidaknya ada tiga sikap masyarakat menanggapi petuah Sunan Kalijaga untuk berpantang tidur diatas kasur tersebut:
Kelompok tradisionalis.
Kelompok ini memaknai pesan Sunan Kalijaga secara tekstual dan mayoritas dari mereka adalah golongan usia tua atau lanjut. Jadi, bagi masyarakat dengan pemikiran ini, bukan masalah besar ketika setiap hari mereka mesti tidur diatas dipan hanya beralas sehelai tikar. Secara psikologis, mereka merasa lebih aman karena sudah menjauh dari pantangan, sehingga dijauhkan pula dari karma, dan juga marabahaya.
Semi modern.
Sedikit tradisionalis, inilah golongan masyarakat yang mencari aman. Tipe masyarakat ini berpikiran lebih terbuka dalam memahami suatu cerita yang bahkan sudah melegenda. Pesan untuk tidak tidur diatas kasur dimaknai sebagai pesan untuk selalu hidup sederhana, bersahaja. Dengan kata lain, tidak bermewah-mewah. Lalu hubungannya dengan alas tidur? Kelompok ini sudah menggunakan alas tidur alternatif berupa busa, atau bahan lain. Yang penting tidak menggunakan alas tidur berupa kasur dari kapuk.
Masyarakat dengan pemikiran modern.
Meski tak banyak, ada pula anggota masyarakat yang menganggap pantangan tidur di atas kasur hanyalah mitos. Warga dengan pemikiran seperti ini, berusaha menghilangkan ketakutan-ketakutan masyarakat terhadap "kutukan" kasur. Segala sakit, bahaya hanyalah dari Sang Pencipta. Dengan kata lain, kepercayaan masyarakat akan kasur identik dengan kesialan dan tetek bengeknya hanyalah cerita lama yang tak perlu dilanjutkan lagi.
Mitos, legenda dan cerita-cerita yang berbau mistis memang seakan tak bisa lepas dari tradisi masyarakat bangsa kita. Beragam pemikiran, dan bermacam cara dalam menyikapi, hendaknya tak menimbulkan disintegrasi, justru medatangkan harmoni demi kesatuan dan keutuhan masyarakat, bangsa, dan negara.
Sumber:Perjalanan Sunan Kalijaga; Sebuah titik awal
Dikisahkan, dalam suatu perjalanan dakwahnya, suatu hari Sunan Kalijaga singgah di salah satu kampung di Desa Margodadi, Sayegan untuk sholat dan beristirahat. Sayang, tak ada sumber air yang beliau temukan untuk berwudhu, hingga kemudian Sunan Kalijaga mengetukkan tongkat dan keluar satu sumber mata air yang besar, yang sampai saat ini di kenal dengan Tuk Si Bedug.
Setelah sholat, beliau berpesan kepada sesepuh desa agar menyuruh penduduknya untuk tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur. ’’Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” begitulah ucapan Sunan Kalijaga yang terus mengakar, dari generasi ke generasi.
Cerita turun temurun yang telah berumur ratusan tahun itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Kasuran sebagai masyarakat yang pantang tidur di atas kasur. Kasur dalam hal ini diartikan sebagai alas tidur yang terbuat dari kapuk randu. Keberadaan kasur dalam sebuah rumah mereka anggap sebagai sumber celaka atau malapetaka.
Maka, bukan hal aneh ketika menjumpai penduduk yang tidur hanya beralaskan tikar ataupun alas tidur seadanya. Bahkan seandainya ada anggota masyarakat yang sengaja melanggar dan kemudian mendapatkan sakit atau bencana, mereka anggap itu sebagai karma.
Mampukah modernisasi mengubahnya?
Perubahan sosial, turut mempengaruhi pula pola pikir masyarakat termasuk penduduk Desa Kasuran. Sampai saat ini, setidaknya ada tiga sikap masyarakat menanggapi petuah Sunan Kalijaga untuk berpantang tidur diatas kasur tersebut:
Kelompok tradisionalis.
Kelompok ini memaknai pesan Sunan Kalijaga secara tekstual dan mayoritas dari mereka adalah golongan usia tua atau lanjut. Jadi, bagi masyarakat dengan pemikiran ini, bukan masalah besar ketika setiap hari mereka mesti tidur diatas dipan hanya beralas sehelai tikar. Secara psikologis, mereka merasa lebih aman karena sudah menjauh dari pantangan, sehingga dijauhkan pula dari karma, dan juga marabahaya.
Semi modern.
Sedikit tradisionalis, inilah golongan masyarakat yang mencari aman. Tipe masyarakat ini berpikiran lebih terbuka dalam memahami suatu cerita yang bahkan sudah melegenda. Pesan untuk tidak tidur diatas kasur dimaknai sebagai pesan untuk selalu hidup sederhana, bersahaja. Dengan kata lain, tidak bermewah-mewah. Lalu hubungannya dengan alas tidur? Kelompok ini sudah menggunakan alas tidur alternatif berupa busa, atau bahan lain. Yang penting tidak menggunakan alas tidur berupa kasur dari kapuk.
Masyarakat dengan pemikiran modern.
Meski tak banyak, ada pula anggota masyarakat yang menganggap pantangan tidur di atas kasur hanyalah mitos. Warga dengan pemikiran seperti ini, berusaha menghilangkan ketakutan-ketakutan masyarakat terhadap "kutukan" kasur. Segala sakit, bahaya hanyalah dari Sang Pencipta. Dengan kata lain, kepercayaan masyarakat akan kasur identik dengan kesialan dan tetek bengeknya hanyalah cerita lama yang tak perlu dilanjutkan lagi.
Mitos, legenda dan cerita-cerita yang berbau mistis memang seakan tak bisa lepas dari tradisi masyarakat bangsa kita. Beragam pemikiran, dan bermacam cara dalam menyikapi, hendaknya tak menimbulkan disintegrasi, justru medatangkan harmoni demi kesatuan dan keutuhan masyarakat, bangsa, dan negara.
http://www.suararakyatindonesia.org/warga-desa-di-sleman-dilarang-tidur-pakai-kasur-ada-apa/
http://www.slemankab.go.id/729/tradisi-ratusan-tahun-warga-kasuran.slm
http://www.anehdidunia.com/2012/05/misteri-desa-kasuran-sleman-yogyakarta.html?m=1


