Sudah pernah cerita kan, kalau tempat saya tinggal, sering banget hujan. Tapi kalau kemarin (Sabtu), sepertinya hujan cukup merata di semua wilayah Jogja. Matahari benar- benar sembunyi sepanjang hari. Kalau sudah begini, abaikan sejenak program diet. Ditambah provokasi teman-teman di WA grup yang gencar saling mengirim foto makanan, jadilah godaan untuk "khilaf" dalam hal makan semakin besar..hi..hi.
Kalau biasanya saya tertib hanya ngemil buah sampai jam makan siang, tapi hari itu saya tergoda. Apalagi pasca acara belanja bulanan, sebelum agenda njemput anak sekolah, pak suami justru membelokkan kendaraan ke lain arah, "Ke Pak Lanjar dulu...udah lapar.." katanya. Padahal, baru jam 10 pagi...dan kebetulan anak-anak bubar sekolah jam 11 karena week end.
| Warung Pak Lanjar, masih banyak space di parkiran karena masih pagi |
Menurut saya, lokasi warung ini cukup nyempil, agak susah dicari, karena cukup jauh dari jalan utama ( Bisa dijangkau dari Jl. Magelang, atau Jl. Monjali). Sepertinya, warung ini memang mengusung konsep alami, ketenangan, karena posisinya benar-benar di areal persawahan, di dusun Banteran, Donoharjo, Ngaglik, Sleman Yogyakarta.
Wajar saja kalau pagi itu Warung Pak Lanjar masih cukup sepi, wong barusan buka. Padahal, di ranah perkulineran Jogja, sepak terjang Warung Pak Lanjar siap di perhitungkan.
| Aktivitas di dapur, sengaja dibiarkan terbuka |
Sesuai dengan namanya, Warung ini digawangi Pak Lanjar, seorang chef handal yang yang puluhan tahun memasak untuk hotel bintang lima dan kerap menjadi chef istana di kala pemerintahan Soeharto. Kini, ia memanjakan pengunjung warungnya dengan makanan-makanan khas Jawa, seperti mie godog, magelangan, nasi goreng, dan juga beberapa jenis makanan yang lain.
Nuansa Jawa tempo dulu juga kentara di Warung Pak Lanjar ini. Beberapa Joglo di bagian belakang, sekat dinding berupa gebyok, anglo-anglo tanah liat, dan juga beberapa lukisan, memperkuat unsur lokalitas warung makan. Dinding warung, juga dibiarkan semi terbuka. Mungkin tujuannya agar pengunjung lebih menyatu dengan alam. Tapi kalau pas hujan, jadinya memang lebih dingin. Maka yang dibutuhkan kemudian, adalah sesuatu yang ngangetin!
| Suasana dalamnya, format duduk |
| Format lesehan |
Sepiring mie kuah, seporsi capcay, dan dua gelas jeruk panas, akhirnya menjadi pilihan saya dan suami. Waktu yang kami punya, hanya sekitar 30 menit sebelum jemput anak, tapi untungnya, pelayanan di sini lumayan cepet. Tapi mbak-mbak waitress yang kemarin kayaknya masih baru, buktinya sempat lupa naruh sendok di mie yang saya pesan.
| Capcay |
| Mie rebus |
| Daftar menu |
Secara harga, menu-menu yang dihidangkan di Warung Pak Lanjar, bisa dikatakan standar kaki lima. Tapi, soal rasa, bener-bener nggak mbikin kecewa.Saya suka mie di tempat ini karena banyak kandungan sayur. Kuahnya juga lumayan banyak, jadi berasa segar. Gurih kuah kaldu dan potongan ayam kampungnya juga mengena di lidah.
Untung nggak sampe limabelas menit setelah menu terhidang, saya dan suami bisa menyelesaikan makan. Ingat kok, ada anak yang menunggu untuk dijemput dari sekolah. Sambil membayar di kasir..saya niatkan satu hal..kapan-kapan mampir lagi ah, penasaran sama masakan lainnya! #DasarTukangMakan
