“Seneng ono MBG po ora Ya…”
“Podho wae…….”
Sama saja kata Alya. Begitu jawab bocah saya ketika saya minta pendapatnya mengenai perasaannya setelah sekitar 3 mingguan sekolahnya menjadi salah satu penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis atau MBG.
![]() |
Salah satu menu MBG anak SMP di Sleman (Jakal) |
Dulu, saat program ini belum masuk sekolahnya dan cuma bisa melihat berita tentang MBG di TV, beberapa kali ia bertanya ataupun berkomentar..”nggonku kapan yo Bu..dapat MBG? Wah, penak yaa…dapat spaghetti gratis”. Sekarang, setelah ikut sebagai penikmat program ini, ternyata tanggapannya tentang program ini cukup datar. Jawaban paling sering ketika pulang sekolah saya tanya MBG nya habis atau sisa jawabannya hampir senada
“Nasi kro sayure ra entek”
Tentang MBG
Belakangan, program ini banyak menjadi perbincangan semua lapisan masyarakat.
Lanjut dengan pembenahan
Atau stop saja sekalian..
Dulu jaman masih masa kampanye pilpres, program rencananya dikemas dalam format “Makan Siang Gratis”. Tapi menjelang realisasi, namanya diganti menjadi makan bergizi gratis. Target program adalah seluruh anak-anak usia sekolah, ibu hamil, dari Sabang sampai Merauke.
Dalam pelaksanaanya, program MBG dilaksanakan secara bertahap, tergantung kesiapan daerah masing-masing.
Perubahan nama program Makan Siang Gratis menjadi Makan Bergizi Gratis bisa jadi karena tujuan utama dari MBG adalah proyek/bancakan para pejabat menurunkan angka stunting dengan memperbaiki gizi anak-anak sekolah, ibu hamil, dan juga ibu menyusui. Atau mungkin juga karena waktu pembagian makanan yang “nanggung”. Jam sarapan sudah lewat, sementara untuk makan siang, masih kepagian. Di sekolahnya Alya MBG dibagikan ke siswa sekitar pukul 09.00 pagi. Untuk anak-anak yang pagi hari sudah sarapan, besar kemungkinan saat menikmati MBG kondisi perut belum lapar.
Plus-Minus MBG
Dijalankan secara resmi awal tahun 2025, berarti sudah hampir 10 bulan program ini berjalan. Kalau dari komentar anak saya, saya menilai program ini lanjut gak apa-apa, nggak ada pun bukan masalah. Rasa penasaran anak saya akan MBG sudah terpuaskan sepertinya. Lantas kalau saya sebagai orang tua?
Jujur, dengan adanya program ini, sebagai ibu saya sedikit terbantu soal mengatur menu bekal ke sekolah.
Kalau dulu Alya saya bekali nasi + lauk (karena jam sekolah di SMPnya sampai sore), sekarang tiap hari saya cukup mbekali snack berat. Roti, atau jenis dimsum lainnya. Uang jajan Alya pun sering utuh.
Eitss…tapi saya tahu…….
Secara anggaran, program ini menelan biaya tak main-main. Trilyunan rupiah perhari, dengan mengambil uang negara yang salah satu sumbernya adalah pajak yang dibayarkan rakyat Indonesia.
Pajak naik, harga kebutuhan menjadi naik. Jadi ingat, pendanaan uang ini diambilkan dari uang rakyat, bukan dana CSR perusahannya presiden atau perusahaan milik para pejabat negara.
Bukan gratis yaa….
Selain itu, dari sisi penerima manfaat, saya menilai program ini hanya memburu kuantitas, bukan kualitas.
Pemerintah dari hari ke hari memberikan laporan ke masyarakat, tentang keberhasilan program ini. Tentang jangkauan penerima yang makin hari makin banyak, dan jumlah dapur yang juga bertambah. Pemerintah sepertinya lupa, kalau ribuan siswa sudah menjadi korban keracunan makanan MBG. Pengambil kebijakan pun seakan tutup mata, kalau program ini banyak yang tak tepat sasaran.
Anak saya menjadi penikmat MBG, tapi hati kecil saya protes.
Kenapa makanan ini tidak dibagikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan saja, sementara sisa dana bisa dialokasikan untuk perbaikan fasilitas pendidikan misalnya. Atau perbaikan layanan kesehatan? Atau biaya kuliah yang lebih terjangkau untuk semua kalangan masyarakat? Bukankah itu lebih bermanfaat?
Ah, sepertinya program makan siang ini bukan semata bagi-bagi rejeki untuk anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Makin kesini, MBG lebih seperti kenduri yang untungnya harus dibagi-bagi di tingkat elit, ia adalah “kue” kekuasaan.
Setuju Mbak, saya rasa tidak semua siswa membutuhkan program ini, sebagai guru saya lebih khawatir gedung sekolah kami yang sudah hampir ambruk ini tapi tak pernah dapat perhatian
BalasHapus