Pengalaman Uji Coba Plastik Berbayar

19 komentar

Tanggal muda, tanggalnya belanja. Meski nggak semua..tapi saya yakin ibu-ibu muda muda maupun ibu-ibu tua memiliki kebiasaan yang sama. Meski agak telat, ikut menanggapi kebijakan ujicoba plastik berbayar di wilayah jogja, berikut pengalaman saya **pasca belanja.

Untuk barang-barang pabrikan seperti detergen, sabun mandi, minyak goreng, susu dan jajanan anak-anak biasanya saya belanja di salah satu ritel satu kali, untuk satu bulan sekaligus. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, kali ini ada pengumuman untuk konsumen yang di letakkan di dekat kassa; bahwa sesuai kebijakan pemerintah, setiap plastik belanja dikenai @200.

"Mau di plastik atau di dos Bu?" tanya mbak kasir ramah ketika troli belanjaan saya sampai di depan meja kassa.
"Dos saja mbak". Jawab saya singkat.

Saya lirik suami. Mukanya berubah. Saya bisa nebak apa yang ia pikirkan. Pasti males kalo harus nunggu antrian di bagian packing dos. Tebakan saya benar!

"Kenapa nggak plastik aja tho? Paling lima kresek aja cukup, cuma seribu rupiah aja. Nggak pake nunggu lama" celetuknya pelan, nggak enak kedengar mbak kasir. Hmmm..kalau bandingannya dengan nilai rupiah yang harus dikeluarkan, ya saya yakin usaha pemerintah untuk mengurangi sampah plastik akan gagal. Eling mas, tujuan penerapan plastik berbayar ini bukan demi penghematan belanja rumah tangga, tapi demi kesehatan tanah dan bumi beberapa tahun ke depan. Demi kelangsungan hidup anak-cucu- dan buyut kita. *batin dalam hati, ndak dikira sok.

bagian packing dos Indogrosir
Jujur, selama ini saya juga bukan pegiat lingkungan hidup. Hanya saat berbelanja sayuran dan buah di pasar tradisional saja saya mau mbawa tas kain besar, yang bisa saya lipat sebelum berangkat dengan harapan mengurangi penggunaan plastik. Tapi ya itu...kalau pas ingat alias ndak lupa.

Selebihnya,saat belanja di toko modern yang difasilitasi tas kresek gratis, fasilitas tersebut masih saya ambil. Lha gimana..saat ribet mesti boncengin anak, dengan bantuan tas kresek, belanjaan tinggal cantolin aja dimotor. Ndak perlu siapin tas besar dari rumah. Benar-benar praktis. Sepulang belanja tas kresek bisa saya gunakan kembali. Membungkus jambu-jambu merah di belakang rumah misalnya, atau kadang-kadang ditembung mbah Noto --tetangga sebelah rumah yang punya warung, untuk beliau gunakan kembali. Tapi sering juga kresek-kresek tadi berakhir di tempat sampah--diambil truk--berakhir di TPA sampah --dan saya tidak tahu bagaimana nasibnya. Itu baru tas kresek, belum plastik-plastik lain semisal bungkus gula, bumbu dapur, dan juga kemasan wafer atau biskuitnya Raka dan Alya. Dalam satu bulan, entah berapa ratus sampah plastik rumah tangga saya yang ikut berkontribusi mencemari lingkungan.

Saya sadar, dengan berganti karton pun itu belum solusi akhir. Karton bekas juga sebenarnya. Tapi bukannya karton mbuatnya pake acara nebang pohon di hutan juga. Cuma katanya, kertas lebih ramah lingkungan daripada plastik. Yang jelas, meski ngantrinya lebih lama...tapi nggak rugi juga kok ngemas pake karton. Besok bisa dipake nenteng oleh-oleh kalo pas lagi ke tempat teman atau saudara, atau dijual di tukang loak juga pasti laku.

Idealnya...mestinya saya rela nenteng beberapa tas besar saat mau belanja. Cerita teman yang tinggal di negara tetangga Australia, katanya di sono malah sudah umum banget kalo pembeli tidak lagi seperti raja. Konsumen ambil sendiri, packing sendiri belanjaan masing-masing dengan tas masing-masing. Pemerintahpun sudah ndak ngurusi lagi tas kresek. Tapi kenyataannya...saya belum bisa/belum pernah bawa tas besar ke supermarket, meski saya tau, plastik itu tidak sehat. Masih canggung, belum terbiasa. Masih belum siap kalau ada yang melihat dengan tatapan aneh. Kadang saya kepikiran juga, seberapa efektif pengurangan sampah plastik model begini..? Klo hanya dua ratus rupiah/kresek...gampang banget buat pemburu kepraktisan. Setara harga sebutir permen saja kok. Bukannya yang lebih penting meningkatkan kesadaran dalam diri sendiri untuk menekan penggunaan plastik dalam kehidupan? Eh, ngomong-ngomong, apa teman blogger punya pengalaman seru pas belanja, tentu saja dikaitkan dengan fenomena plastik kresek berbayar ini?
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, suka travelling, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

19 komentar

  1. Iya mbak Sulis, menurut saya harga 200 itu sama sekali nggak pengaruh terhadap program pengurangan sampah plastik. Yang lebih penting adalah sosialisasi dan pengarahan terutama ke tiap-tiap RT. Dan paling efektif adalah dengan sanksi, tapi nggak mungkinlah ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi..hi. Iya. Sadar, itu yang paling penting.. Tapi namanya manusia biasa mb. Klo ada yang praktis, biasanya ya lebih suka...

      Hapus
  2. DItempatku masih banyak yang pakai plastik supermarket" masih menawarkan plastik n tentunya pasar tradisional hampir semua pedagang menggunakan plastik mba :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Takut kehilangan konsumen mb...soalnya konsumen masih termanjakan plastik.

      Hapus
  3. Aku juga lg latian bawa tas ndiri hihihiii
    Tp klo untuk buang sampah masih pke kresek, soalnya di komplekku sampsh diambilin tiap 2 hari sekali ni, huhuu, nda ado hslsman n tempat sampah kyk rumah di kampung halaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku nampung sampah juga pke plastik nit...tapi ember gede gitu...lebih awet lho. Klo kresek besar, suka diobrak abrik ayam ato kucing..

      Hapus
  4. Saya juga awal2 kebijakan ink suka lupa bawa tas sendiri tp lama2 nggak lupa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi..hi sama mb. Tapi sebatas di pasar aja bw tas kain. Selebihnya...masih pake kresek. Kecuali ditawari dos. Itu juga klo motoran...dos susah bw nya

      Hapus
  5. saya juga mendukung gerakan ini Mbak, tapi sayangnya di daerah saya masih belum memberlakukan hal ini..jalan satu-satunya adalah kesadaran dari kita untuk selalu membawa kantong belanjaan sendiri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip! Bener...sadar lebih penting. Makasih mb sudah main ke blog saya...

      Hapus
    2. Sip! Bener...sadar lebih penting. Makasih mb sudah main ke blog saya...

      Hapus
  6. Saya juga belum terbiasa bawa tas sendiri saat belanja nih, Mbak.. Iya paling kalo ke pasar aja *tosss* :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Toss! Punya teman.... Masih taraf belajar peduli lingkungan..

      Hapus
  7. Masih ada supermarket yg tidak menerapkan. Mrk menganggap kresek itu compliment saja. Susah memang menyadarkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah mbak... Daripada konsumen lari...mungkin itu pemikiran pemilik usaha. Yang sadar sama yang nggak sadar...banyakan yang nggak kayaknya. Atau benernya sadar..tapi cuek aja lah...

      Hapus
  8. Saatnya sangu plastik dari rumah. kadang istri suka lupa bawa ni bunda... hehehe

    BalasHapus
  9. sbenarnya dr dulu klo blanja ke warung sayur (tuang sayur yg gak kelilingan itu lho mbak maksudku..hihi..) atau warung kelontong, sering bawa kresek dr rmh...tp klo ke swalayan modern suka sengaja ga bawa ...bahkan sampai berbayar kini pun...bukannya sok kuat bayar 200rupiah atau gak cinta lingkungan, tp aku emang butuh kresek pula utk naruh sampah sbelum dibuang ke TPA

    BalasHapus
  10. yang gitu cuma mart-mart sama four-four. pasar masih bebas. bakul sayur masih nawarin dan aku masih selalu lupa bawa kresek apalagi tas dari rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagaimanapun kresek menawarkan kepraktisan yang lebih. Sing jelas...para ibu2 menunggu penemuan pengganti kresek yang ramahblingkungan, tapi tetep praktis.Sepakat?

      Hapus

Posting Komentar