Ramadhan Dan Petasan

10 komentar
Duorrrrrrr!
atau kadang-kadang pake awalan.... 
Preketek-preketek......Derrrrr!



Gambar dari pixabay.com


Bukan balon atau ban kendaraan yang meletus. Tapi pasti bisa nebak...yup, mercon alias petasan. Sudah beberapa tahun terakhir, entah kenapa...petasan menjadi salah satu icon ramadhan di Indonesia, termasuk kampung saya. Setiap habis berbuka, jeda antara Maghrib dan Isya seakan menjadi prime time nya beberapa anak dan remaja disekitar tempat tinggal saya untuk menyulut benda satu itu. Di samping rumah lagi.
Untung saya tak punya bayi
Untung tak ada manula dalam rumah ini
Untung kami sekeluarga ndak ada riwayat penyakit jantung

Walau begitu, tapi tetap saja saya merasa terganggu. Dimana tho, asyiknya suara petasan? Malah menurut saya, penyulut mercon itu egois --membakar sumbu, ditinggal lari, sambil tutup kuping pula. Coba kalau gentle dan bertujuan "menikmati" bunyi petasan...ledakkan aja didekat telinga, pasti bunyinya membahana *klo dapat bonus kuping putus, ya resiko. 

Kalau kembang api pas perayaan Idul Fitri atau Pergantian tahun, --meski menurut saya termasuk pemborosan --itu masih bisa dinikmati. Setelah bunyi Dorrr...kita bisa melihat percikan api maneka warna yang cantik di udara. Saya pun suka memandangnya. Tapi klo petasan? Lagi-lagi saya gagal menemukan dimana asyiknya.

Raka dan Petasan
Ramadhan ini, sulung saya 8 tahun. Hampir masa transisi ke remaja, dimana lingkungan sangat berpengaruh terhadap prilakunya. Ramadhan tahun kemarin, ia belum berani tarawih sendiri, masih tergantung saya ibu atau ayahnya. Tahun ini, ia sudah punya gank sendiri, 5 anak tetangga seusia, ...berangkat takjil, tarawih, saling nyamperi satu sama lain.

Sayangnya satu temannya -kebetulan anak polisi, seakan punya begitu banyak stok petasan. Tiada hari tanpa petasan. Alhasil, Raka pun mulai terpengaruh untuk bermain petasan. Uang yang ia kumpulkan melalui program poin yang saya buat, pernah ia angan-angankan untuk membeli petasan.
"Boleh ya bu?" , rengeknya.
"Boleh, tapi kalau kamu main petasan....silakan masuk kamar mandi, tutup pintu, dan nyalakan disitu...biar bunyinya bisa kamu nikmati, tapi sendiri" "Huuuhhhhh....ibu kiii........* kecewa dia #biarin. 

Sebagai pengobat kekecewaan, akhirnya kami (ibu dan sang anak laki-lakinya) membuat kesepakatan. Boleh, sekali-kali beli, tapi tidak setiap hari dan tidak yang bersuara keras. Terpaksanya kepingin banget beli mercon...yang dibanting aja, paling suaranya cuma "cether!!!" . Atau kalau nggak gitu, kembang api yang dipegang, biar adiknya juga senang. Akhirnya kata sepakat dicapai. "Ok, bu...", jawabnya.... Tak lupa saya beri alasan kenapa ia tidak boleh bermain petasan; suaranya mengganggu dan berbahaya.
Gambar dari gobekasi.co.id


Sepertinya, kata berbahaya masih terlalu 'samar' buat Raka. Belum paham bahayanya dimana --toh teman-temannya masih tetap bermain petasan. Di pinggir-pinggir jalan, ia juga masih melihat petasan dan kembang api diperjualbelikan. 

Akhirnya, saya ajak ia berselancar di dunia maya....Saya biarkan dia melihat foto-foto anak-anak yang terdampak petasan. Setelah itu (mudah-mudahan) ia benar-benar percaya kalau petasan itu berbahaya. 

Jujur, saya juga masih bertanya-tanya. Sesekali dalam pemberitaan, terlihat aparat polisi terlihat menyita petasan-petasan dari gudang atau pembuatnya. Tapi, kenapa di sekitar tempat tinggal saya petasan masih gampang sekali dimiliki anak-anak? Saya jadi ragu...langkah aparat kepolisian bukan basa-basi belaka kan? 

Ah, ini sekedar curhatan ibu rumah tangga, yang merasa tak nyaman dengan hadirnya petasan. Yang takut keselamatan anak laki-lakinya menjadi taruhan akibat salah memilih teman. Diantara rekan-rekan, adakah yang memiliki pengalaman serupa?
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, suka travelling, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

10 komentar

  1. Biasanya kalo kami sekeluarga maiinya kembang api..kalo petasan pun ga boleh main sendiri harus rame2 sama anggota keluraga besar lainnya yg biasa ngumpul pd malam hari raya, juga ada orang dewasanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo kmbang api..iya mb, saya juga suka. Sesekali mbeli untuk malam lebaran...tapi yang megang juga harus ayahnya... *kecuali kmbang api yang model dipegang, yang murah meriah itu...

      Hapus
  2. aku juga sebel kalo ada petasam, apalagi kalau malam-malam, jadi berisik
    mau istirahat gak bisa, ibadah juga gak khusyuk
    apa sih ya enaknya main petasan, sama aja bakar duit kan ya, dibeli eh malah diledakin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak....kecuali bunyi petasan enak didengar, macam ringtone hp gitu...btw, ramadhan di Jepang...justru aman dari petasan ya mbak?

      Hapus
  3. saya sukanya kembang api doang, petasan dilarang keras di keluarga saya, hehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sepakat dengan model keluarga mas arian mengedukasi anak-anaknya...

      Hapus
  4. Pedagang petasan perlu diberi nasehat agar tidak menjual petasan lagi. Kalau kembang api sih nggak masalah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masalahnya...sampe di grebek aja msh bnyak yang jual....apalagi sekedar dinasehati....

      Hapus
  5. seharusnya mercon dkk itu diperlakukan kyk rokok. hanya boleh dibeli n dipakai orang dewasa. dalam hal ini petasan hanya bisa dijual dan dibeli dg didampingi org dewasa. penggunaannya jg dmk. ih, ngimpi. masak iya mau beli mercon ditanya, "KTPnya mana?" hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rokok di madiun dibatasi gitu mb? Di sini....siapa saja kok boleh beli yaa,,, klo model pembatasan susah...akhirnya mung pasrah mbak...mo gimana lg?

      Hapus

Posting Komentar