Terimakasih Ibu

10 komentar

Bernostalgia dengan masa lalu, dimana kita bisa menarik ingatan kita kebelakang, menuntunnya untuk kembali ke masa puluhan tahun yang silam, ternyata menyenangkan. Tak hanya bisa menjadi salah satu kegiatan pengisi waktu luang, dengan aktivitas ini kita bisa mengumpulkan "remah-remah" memori yang awalnya terbuang, dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tak terlupakan. Hal itu jugalah yang saya lakukan malam ini.Kini, usia saya mendekati angka 35 tahun. Itu artinya, saya harus membawa ingatan saya kembali ke era 80-an, ke suatu masa dimana figur seorang ibu benar-benar berperan, dan sangat menentukan terhadap pencapaian-pencapaian yang sudah saya raih sampai hari ini.

Ibu adalah perempuan desa yang sederhana. Berkain jarit dan kebaya, tanpa pulasan make-up, bersanggul kecil di belakang, seperti itulah penampilan ibu saya sehari-hari. Tugas pokoknya adalah sebagai ibu rumah tangga, selebihnya adalah membantu pekerjaan Bapak sebagai petani. Saya sendiri terlahir sebagai bungsu dari 3 bersaudara. Dua kakak saya laki-laki. Bisa ditebak, posisi tersebut seringkali teramat menguntungkan, satu-satunya anak perempuan, paling kecil lagi. Maka saat itu jadilah saya gadis kecil yang cenderung manja dan tidak mau kalah ataupun mengalah.  

Saya ingat, mungkin umur saya sekitar 6 atau 7 tahun, masa ketika saya sedang senang-senangnya bermain. Saat waktu makan tiba, ibu selalu menyuruh saya untuk pulang untuk makan di rumah. Tapi saya selalu menolak dan memilih untuk tetap bermain bersama teman-teman, dan bisa dipastikan yang kemudian dilakukan ibu adalah menyusul saya dengan semangkuk makanan, menyuapi gadis kecilnya dengan telaten, sementara saya tetap asyik bermain. 

Ada juga cerita lain. Kala itu saya belum masuk Taman Kanak-kanak. Badan saya demam, dan tubuh saya kata ibu mengurus. Suatu sore, sambil memandikan ibu bertanya, "badan kamu kok kurus, kamu pengen apa? "Pengen sepeda mini", sayapun menjawab. Tanpa menunggu lama, ibu bercerita kepada bapak dan paginya bapak langsung membelikan sebuah sepeda mini baru warna biru, dengan juntain pita warna-warni di lubang stang. Harganya kala itu saya dengar dua puluh tiga ribu rupiah. Ah, betapa senangnya saya. Tidak pernah saya pikirkan bagaimana perasaan 2 kakak saya yang meskipun usianya lebih besar, tetapi belum memiliki sepeda. 


Pernah juga saya membuat ibu kalang-kabut. Kejadiannya lupa tahun berapa, tapi sepertinya saat itu saya belum sekolah. Suatu malam, saya melihat sebuah tayangan film di TVRI. Dikisahkan dalam film tersebut sekelompok anak muda yang bertualang ke sebuah pulau, dan satu persatu mereka meninggal secara misterius. Dasar anak kecil, selesai melihat film itu saya begitu takut dengan apa yang namanya MATI. Otak bocah saya kemudian membuat kesimpulan "saya akan mati kalau saya lupa bernapas", maka setelah itu saya selalu menarik napas dengan keras, sampai terdengar. Yang ada dalam pikiran saya adalah, pokoknya tidak boleh lupa bernapas. Alhasil, saya bernafas seperti penderita gangguan paru-paru dikala terjaga, dan kembali normal pada saat tidur. Mendengar saya seperti sesak napas setiap hari, terang saja ibu panik. Diantarnya saya ke rumah sakit paru-paru, menjalani foto rontgen, dan keheranan begitu dokter menjelaskan tidak ada yang salah dengan paru-paru saya. Berapa lama persisnya saya terkena "sindrom takut lupa bernafas", saya tidak ingat, tapi mungkin kebiasaan aneh itu berhenti secara tidak sadar.

Dalam hal penanaman nilai-nilai agama dan moral, ibu saya cukup jempolan. Semua anak-anaknya dibiasakan sholat berjamaah di masjid minimal di waktu Maghrib dan Isya. Saya ingat saya pernah " memaksa" ibu untuk sholat. Saya protes karena waktu itu ibu tidak ke masjid. Waktu itu saya belum tahu kalau perempuan itu mengalami haid, dan memang tidak berkewajiban sholat, sementara mungkin ibu masih bingung bagaimana harus menjelaskan keanak perempuannya. Maka yang ibu lakukan ketika saya protes adalah, tetap melakukan gerakan sholat, bermukena, tapi mungkin tidak meniatkan untuk sholat. 

 Nah, kalau yang ini terjadi ketika saya baru masuk Sekolah Dasar. Entah kenapa, saya ingin setiap saya membuat ibu senang. Sehari-hari ibu rajin memasak untuk kami sekeluarga. Saya membayangkan, kalau saya pulang bermain, dan ibu saya beri oleh-oleh bahan sayuran, ia pasti akan senang sekali. Kebetulan, didekat tempat bermain ada pohon nangka milik tetangga yang meskipun pendek, tapi sudah berbuah. Tanpa pikir panjang, saya ambil sebuah nangka muda dan dengan riang saya bawa pulang untuk di berikan pada ibu. Betapa kagetnya, seketika dengan marah ibu bertanya darimana saya mendapatkan nangka muda itu. Setelah saya jelaskan, akhirnya ibulah yang meminta maaf kepada pemilik pohon, dan mewanti-wanti saya, jangan sekali-kali mengambil atau memetik sesuatu yang bukan ditanam bapak. 

 ***
Kini, bocah badung, bandel dan manja itu telah dewasa. Bahkan ia pun telah menjadi ibu untuk dua orang putra-putrinya. Betapa menjadi seorang ibu yang baik itu tidak mudah, sudah ia rasakan. Betapa menjadi seorang ibu itu harus berbekal berlapis-lapis kesabaran, telah ia mengerti. Untuk sosok ibu yang banyak mengajarkannya dengan beragam nilai kehidupan, ia hanya berharap, semoga ibu senantiasa sehat dan berada dalam lindungan-Nya. Maturnuwun atas semuanya Ibu... 

artikel ini diikutkan pada kontes unggulan:hati ibu seluas samudra.
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, suka travelling, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

10 komentar

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. Link yang Anda pasang pada kalimat penutup tidak menuju ke blog saya, ada kesalahan dalam menulis urlnya.
    Silakan diperbaiki agar bisa saya daftar
    Terima kasih

    BalasHapus
  3. Terimakasih pak de... Saya sudah perbaiki, tp masih salah (lagi) ngga ya...? Maaf pak de, bener-bener pendatang baru. Ini juga blm gabung ke komunitas blogger manapun:-)

    BalasHapus
  4. Kalau di klik langsung menuju blog saya berarti sudah betul.
    Nggak masalah, saya dulu juga begitu kok. Lama-lama akan tramil.
    Terima kasih.

    BalasHapus
  5. Sudah betul kok. Nggak apa-apa, lama-lama juga akan trampil. Saya dulu juga nggak bisa pasang link kok.
    Terima kasih.

    BalasHapus
  6. Sekali lagi maturnuwun...semoga saya bisa menjadi pembelajar yang baik:-)

    BalasHapus
  7. Hihih, bagian "ingin membawakan oleh2 bahan sayur untuk ibu, dan ngambil punya orang" lucu. Bahakan sejak kecil udah pengen ngebahagiaiin Ibu. Suka kisahnya Mba :)

    http://nahlatulazhar-penuliscinta.blogspot.com/2014/11/mama-rahasia-di-bali-kediaman.html

    BalasHapus
  8. Makasih mbak.... Lucu tp keliatan badungnya mbak. Salam kenal dari jogja :-)

    BalasHapus
  9. takut lupa bernapas. hihi...antik banget sih bun.

    BalasHapus
  10. Pemikiran yang antik bin aneh.... Dulu pas awal2 ada demam berdarah, pernah dapat sosialisasi ttg tuh penyakit. Begitu pulang, takut juga....takut tiba2 mimisan...trus mati (krn jaman dulu demam berdarah prnh jadi penyakit yang amat menakutkan bagiku)

    BalasHapus

Posting Komentar